Sebagai sebuah negara besar
dengan 17.548 pulau, Indonesia diketahui dengan kekayaan tradisinya. Hal ini
tak lepas dari banyaknya suku yang beralamat di Indonesia, yang jumlahnya lebih
dari 250 suku. Kecuali itu, fakta Indonesia sebagai negara kepulauan juga ikut
serta memberikan imbas kenapa kebudayaan antar tempat dapat berbagai.
Salah satu suku yang terbesar di
Indonesia merupakan Suku Jawa. Diamati dari demografinya, suku ini mendiami
kawasan tengah dan timur Pulau Jawa. Sebagai sebuah suku yang besar, tentu saja
Suku Jawa juga mempunyai kebudayaan yang besar, diaplikasikan turun-temurun,
dan masih ditemukan sampai kini. Kaprah-kaprah kebudayaan apa saja itu? Berikut
kami ulas 6 kebudayaan Jawa yang turuntemurun diturunkan sampai kini.
1. Bahasa
Suku Jawa mempunyai bahasa tempat
yang disebut dengan Bahasa Jawa. Beberapa besar masyarakat Jawa pada biasanya
lebih banyak memakai Bahasa Jawa ini ketimbang memakai bahasa nasional, Bahasa
Indonesia, untuk mengobrol. Bahasa Jawa mempunyai tata tertib yang berbeda dalam
hal intonasi dan kosakata dengan memperhatikan siapa yang mengobrol dan siapa
lawan bicaranya. Hal ini lazim disebut dengan istilah upload-ungguh.
Peraturan ini mempunyai imbas
sosial yang kuat dalam tradisi Jawa dan secara tak seketika sanggup menyusun
kesadaran yang kuat akan status sosialnya di tengah masyarakat. Sebagai figur,
di manapun seseorang dari Suku Jawa berada, ia akan konsisten hormat terhadap
yang lebih tua meski ia tak mengenalnya. Upload-ungguh semacam inilah yang
pertama kali disusun Suku Jawa via keteladanan bahasa.
2. Kepercayaan
Dahulunya, masyarakat Suku Jawa
beberapa besar memeluk agama Hindu, Budha, dan Kejawen sebagai pegangan.
Berbeda dengan yang kini, beberapa besar masyarakat Jawa memeluk agama Islam
dan beberapa kecil menganut agama Kristen dan Khatolik. Sedangkan demikian,
tradisi masa lalu masyarakat Jawa tak utuh ditinggalkan semacam itu saja sebab
kepercayaan Kejawen, yang yaitu kepercayaan yang dibuat dari tradisi Jawa,
konsisten masih ada yang melakukan.
Kepercayaan kejawen berisikan
perihal seni, tradisi, kebiasaan, ritual, sikap dan juga filosofi orang-orang
Jawa. Umumnya kepercayaan ini semacam itu kuat dikontrol oleh orang-orang yang
telah berusia tua dan biasanya generasi di bawahnya telah tak banyak lagi yang
menirunya. Padahal berbeda pandangan, hal ini terbukti tak memunculkan friksi
antara yang tua ataupun yang muda, malahan kaum yang muda cenderung menghormati
yang tua untuk keadaan sulit ini.
3. Filosofi
Orang Jawa juga diketahui lekat
dengan filosofi kehidupan, secara khusus dengan apa yang diajari oleh Sunan
Kalijogo. Dalam kegiatannya berdakwah, seringkali Sunan Kalijogo memakai
pendekatan kebiasaan sehingga banyak orang Jawa yang meniru ajarannya. Misalkan
saja, nyanyian Ilir-ilir dan Plontos-plontos Cangkul yaitu karya beliau yang
hingga ketika ini masih didengarkan turun-temurun.
Sunan Kalijogo juga meninggalkan
filosofi hidup yang termuat dalam Dasa Pitutur yang masih dikerjakan hingga
kini. Isinya di antaranya merupakan urip iku urup, memayu hayuning bawana
ambrasta dur hangkara, sura dira jaya jayaningrat lebur dening pangastuti,
ngluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake sekti tanpa aji-aji sugih tanpa
bandha, dan sebagainya.
4. Kesenian
Dalam bidang seni tradisi,
masyarakat Suku Jawa dapat dibilang mempunyai kekayaan seni yang berbagai.
Setidaknya seni tradisional ini dibagi menjadi 3 klasifikasi berdasarkan akar
tradisinya, adalah Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ludruk dan
Reog). Untuk seni musik, masyarakat Jawa mempunyai Langgam Jawa yang yaitu
penyesuaian diri musik keoncong ke dalam musik tradisional Jawa, lebih-lebih
Gamelan.
Kecuali itu, Suku Jawa mempunyai
jenis seni tari dari beraneka tempat, adalah Tari Bambangan Cakil dari Jawa
Tengah, Tari Angguk dari Yogyakarta, Tari Ebeg dari Banyumas, Tari Gandrung
dari Banyuwangi, Tari Kridhajati dari Jepara, Tari Kuda Lumping dari Jawa
Tengah, Tari Reog dari Ponorogo, Tari Remo dari Jawa Timur, Tari Emprak dari
Jawa Tengah, Tari Golek Menak dari Yogyakarta, dan Tari Sintren dari Jawa Tengah.
5. Kalender
Salah satu kekayaan tradisi Jawa
yang tak dimiliki oleh suku lain merupakan Kalender Jawa. Kalender ini yaitu
penanggalan yang diaplikasikan oleh Kesultanan Mataram. Saat Islam mulai
berkembang di tanah Jawa, Sultan Agung menetapkan untuk meninggalkan Kalender
Saka dan menggantinya dengan Kalender Hijriah dengan penyesuaian tradisi Jawa.
Kalender Jawa diwujudkan dengan perpaduan antara tradisi Islam, tradisi
Hindu-Budha, dan tradisi Eropa.
Dalam kalender cara Jawa, siklus
harian yang diterapkan ada dua ragam, adalah siklus mingguan yang terdiri dari
7 hari seperti yang kita ketahui kini (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at,
Sabtu, dan Pekan) serta siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran
(Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Untuk hitungan bulan, Kalender Jawa
juga mempunyai 12 bulan, adalah Sura, Supar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal,
Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Sawal, Jeda, dan Besar.
6. Hitungan Jawa
Masyarakat tradisional Jawa juga
mempunyai cara perhitungan untuk membikin keputusan-keputusan penting. Metode
perhitungan ini lazim disebut dengan Neptu, mencakup angka perhitungan hari,
hari pasaran, bulan, dan tahun Jawa. Tiap hari, hari pasar, bulan, dan tahun
mempunyai skor yang berbeda-beda. Dari skor perhitungan sempurna itulah
nantinya akan dikenal bagus-buruknya keputusan yang akan diambil.
Perhitungan ini juga dapat
didasarkan pada susunan Aksara Jawa (ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja
ya nya, ma ga ba tha nga). Tiap aksara mempunyai skor yang berbeda-beda,
misalkan ha, da, pa, ma masing-masing nilainya 1 dan huruf na, ta, dha, ga
masing-masing nilainya 2, semacam itu juga seterusnya. Dari sempurna
perhitungan tersbut nantinya akan dicocokkan dengan 5 elemen, adalah Sri,
Lungguh, Gedhong, Loro dan Pari. Faktor Sri, Lungguh dan Gedhong yaitu elemen
positif, walaupun Loro dan Pati merupakan elemen negatif yang umumnya akan
dihindari oleh orang Jawa.
Nah, itulah 6 kebudayaan Suku
Jawa yang masih diturunkan secara turun-temurun sampai dapat kita temui hingga
kini. Padahal masih ada, bukan tak mungkin dengan derasnya era modernisasi
kebudayaan Jawa ini dapat tergerus. Oleh sebab itu, peran generasi mudanya lah
yang akan menetapkan bagaimana kelestarian kebudayaan ini nantinya.